12 Nov 2011

Ternyata Banyak Uang Tak Bikin Bahagia


UANG atau kekayaan mungkin dapat memberikan kebahagiaan hingga tingkat tertentu. Tetapi faktanya, sebagian besar orang justru menilai kedekatan dengan keluarga merupakan faktor yang lebih menentukan kebahagiaan ketimbang materi atau kekayaan.

Sebuah riset yang menganalis data kehidupan perkawinan ratusan pasangan di Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir menunjukkan, meskipun pendapatan memberi kontribusi besar terhadap kebahagiaan, kualitas hubungan keluarga tetaplah di atas segalanya. Riset yang juga dipublikasikan Journal of Family Psychology edisi Juni ini adalah yang pertama menguji dampak ekonomi terhadap perubahan keluarga.

“Kebanyakan riset tentang uang dan kebahagiaan menunjukkan adanya hubungan erat sampai pada titik di mana kebutuhan dasar terpenuhi, dan itulah yang kami temukan. Namun setelah titik itu tercapai, pendapatan mengalami penurunan dalam pengaruhnya terhadap kebahagiaan,” ungkap peneliti Rebecca J North seperti dikutipWebMD, Jumat(19/6).

North dan koleganya dari University of Texas di Austin mengalisis data sebuah riset yang melibatkan 274 pasangan menikah di San Francisco Bay. Pasangan ini diikuti kehidupan perkawinannya mulai 1981 hingga 1991.

Setiap partisipan wajib mengisi angket pada empat periode waktu berbeda selama penelitian dengan tujuan mengukur perubahan sejumlah faktor seperti pendapatan, dukungan, dan kebahagiaan keluarga. Survei mengindikasikan, kebahagiaan terbukti berkaitan erat dengan perubahan kualitas hubungan keluarga selama periode tersebut. Namun, faktor penghasilan kurang berkaitan dengan kebahagiaan.

“Jika Anda bertanya soal ini kepada orang lain, saya kira kebanyakan akan mengatakan bahwa hubungan keluarga lebih penting ketimbang pendapatan. Tetapi, jika Anda melihat cara orang mengatur waktunya, Anda tentu akan menemukan pendapat yang berbeda,” ujarnya.

Sementara itu, para ahli lain menilai studi ini memperkaya riset dan pengetahuan mengenai kebahagiaan, namun masih perlu didukung dengan riset yang lain. Dalam sebuah makalah yang dipresentasikan di Brookings Institution di Washington DC, April lalu, ekonom Betsey Stevenson, PhD dan Justin Wolfers, PhD menyatakan, pendapatan tampaknya berkaitan langsung dengan kebahagiaan, dalam konteks pribadi dan masyarakat.

Menggunakan data dari negara-negara miskin dan kaya, Stevenson dan rekannya menemukan bahwa kepuasan atau kebahagiaan pribadi paling tinggi terdapat pada masyarakat yang tinggal di negara paling kaya. Di negara-negara ini, mereka yang berpenghasilan tinggi cenderung lebih bahagia ketimbang mereka yang gajinya sedikit.

Di Amerika Serikat, misalnya, 90 persen pasangan berpenghasilan minimal 250.000 dollar AS atau sekitar Rp 2,5 miliar menilai dirinya “sangat bahagia”. Sedangkan pada pasangan berpendapatan di bawah 30.000 dollar AS, perasaan “sangat bahagia” hanya terdapat pada 42 persen saja.

Temuan ini tampaknya bertolak belakang dengan anggapan bahwa uang hanya berkaitan dengan kebahagiaan hingga pada poin di mana kebutuhan dasar telah terpenuhi.

Dalam riset yang digagas Stevenson dan Wolfers tampak rumah tangga yang berpenghasilan 250.000 dollar per tahun cenderung dilaporkan memiliki tingkat kepuasan pribadi yang lebih tinggi dari mereka yang berpenghasilan 120.000 dollar per tahun.

“Kami tidak melibatkan mereka yang superkaya, oleh karena itu kami tidak mengatakan jika Bill Gates akan lebih bahagia dari kita semua,” kata Stevenson.

Sekitar 1 persen keluarga di Amerika Serikat tercatat memiliki penghasilan lebih kurang 250.000 dollar per tahun, dan 5 persen keluarga berpenghasilan rata-rata 120.000 dollar per tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar anda :

Mengenai Saya

Foto saya
Banyak hal yang saya dapat dari ngeblog ini salah satunya adalah selalu memburu artikel - artikel yang saya nilai cukup menarik dan layak untuk berbagi. Berbagi lewat facebook silakan add saya dg nama Jamka Selecta.

Pengikut