22 Jul 2010
cahaya Cinta (cerpen)
Huruf-huruf alphabet yang mengalir begitu saja memenuhi layar pesan di handphoneku. Dan selalu kukirim untukmu. Tidak peduli waktu menunjuk bintang-bintang yang bersinar. Tidak peduli nomor yang kutuju tidak aktif lagi. Kerinduan ini lebih tinggi dari langit teratas. Dan aku ragu rasa malu itu masih ada. Huruf-huruf yang terangkai menjadi kalimat sarat makna seolah-olah menjadi jembatan perasaanku padamu yang tidak pernah berbalas.
Sadarkah kamu untaian kata ini adalah cita? Tidak peduli kamu menyambutku dengan hampa. Izinkan aku kembali bukan untuk bercerita. Aku hanya ingin menunggu kata-katamu yang merangkum semua kebisuanmu. Harapan untuk mendengar terangmu adalah citaku. Dan kini, aku harap dimengerti. Tak jua kupaksakan untuk peroleh setitik pengertian.
Kejujuran tanpa suara yang tidak menyisakan ruang untuk dusta. Huruf-huruf alphabet yang kukirim sebagai tanda. Seakan itu sia-sia. Karena diammu yang tak pernah berakhir. Meskipun musim telah berganti. Panas menyengat sudah berlalu. Dingin, basah yang berlebihan kadang membanjiri. Tetapi, tidak ada bedanya panas atau dingin musim itu. Karena dari awal yang tersembunyi di rongga dada ini adalah panas dingin tidak menentu.
Saat aku mencoba menghapus kegundahan ini. Bait-bait puisi tertulis mengikuti irama hati. Bukan berarti agama aku acuhkan. Bukan sayang seperti yang kau kira. Bukan cinta seperti yang kau duga. Aku hanya ingin sewajarnya jadi sahabatmu bila itu inginmu. Bila itu lebih tentram di hatimu daripada kuharapkan lebih. Sekian lama tak berjumpa, tiada terbilang pesan tak berbalas. Bukan ungkapan cinta darimu yang kudamba. Meskipun tidak aku pungkiri, Aku mencintaimu lebih dari yang kau tau. Dibalik senyumku yang selalu kusimpan tangisku.
Malam ini kubuka semua rahasiaku. Tidak ada yang menerima rangkaian kata ini. Kecuali keheningan yang kuanggap menghargaiku. Meski aku tahu keheningan ini menjebakku. Dan kini sampailah di keterbatasanku. Aku lelah seolah tak diakui aku ada. Sakit. Menentang malam, tanpa keraguan kutulis pesan,” dapatkah kudengar satu kata sebagai bukti bila kamu ingin lepaskanku dari jerat penjara hati ini tanpa harus kamu berdusta. Ataukah tidak mau kau lepaskanku dari masa lalu”. Kuncinya hanya pesan kata darimu sebagai balasan kata-kata yang kukirim tak berbilang. Tak kuasa diri ini menahan gejolak tak terelakkan dalam ruang sempit dalam organ vitalku yang sekarat ini. Hanya satu asaku, kumohon wujudkan dengan suaramu yang empat tahun terakhir menghilang dari kupingku untuk menghilangkan kerinduan ini.
Apalah arti mimpi. Namun, semu nyatanya. Apa arti cinta yang tidak pernah berbalas. Apa arti cita yang tidak pernah terwujud. Apa arti waktu-waktu yang telah hilang hanya untuk penantian bodoh ini. Hanya demi pesan yang kau kirim untuk lepas darimu. Aku rela mengirim beribu kata. Namun, tidak ada hasil. Hanya kebisuan sang waktu dan kebodohanku terjerat cinta yang merantaiku dalam masa lalu. Berpuluh pesan yang tak pernah sampai padamu. Bagaimana kamu bisa membalasnya? Kutahu itu tetapi tetap saja aku menutup mata atas kenyataan itu.
Tiap kali aku ingin lepas dari belenggu ini. Dan tiap kali aku berjanji padamu dan pada diriku sendiri untuk menghentikan pesan-pesan konyol ini. Seolah-olah ada yang berbisik di telinga ini untuk menghentikan perjanjian itu. Dan pada akhirnya aku mengingkari apa yang kuucap dalam barisan kata-kata lagi dengan begitu mudahnya.
***
Dengan alasan waktuku tidak banyak lagi untuk sekedar penantian tak berujung. Aku beranikan diri datang ke kotamu, kotaku dulu. Disana tempat tinggalmu. Rumahmu dan keluargamu. Rumah sederhana yang kau anggap istana. Bersama ibu dan adikmu kau tertawa menghadapi hari. Hari yang selalu berganti gelap dan terang. Namun, cahaya di rumahmu selalu benderang. Itulah yang selalu kulihat dibalik tirai rumah tepat di depan rumahmu dulu. Rumah bak istana kerajaan. Dan tinggallah seorang putri yang kesepian. Dan kini rumah itu sudah berganti pemilik. Aku yang selalu mencitakan memiliki keluarga seperti keluargamu. Tak pernah terwujud sampai detik terakhir nafas-nafas yang tersisa ini.
Kurang satu langkah aku menginjakkan kaki di halaman rumahmu. Setelah sekian tahun tak pernah datang sejak perpisahan itu. Tempat dulu kita selalu bermain, bercanda, dan tertawa. Kenangan yang hanya sebatas tulisan di diary terulang kembali. Seakan kejadian itu sedang berlangsung di hadapanku sekarang.
“Sara…”
Dari dalam terdengar suara lembut dan meneduhkan hati memanggilku. Seorang ibu tua keluar menghampiriku. Matanya berkaca-kaca. Diam kuterpaku, ibu itu memelukku erat. Dan saat bersamaan kumelihatmu. Pria bertubuh jangkung yang menatapku lurus. Sekian detik kamu dan aku bertatapan. Kamu berdiri di ambang pintu menggendong seorang anak balita yang cantik. Lalu, menyusul dari balik punggungmu seorang perempuan cantik keluar.
“bunda..”
Celoteh anak kecil itu, lalu dia turun dari gendonganmu. Gadis kecil itu menghampiri perempuan berkerudung putih yang dia sebut bunda. Lalu memeluknya dan bertanya gaya anak kecil, ” Siapa dia Bun, cantik sekali. Apa Vel bisa secantik dia Bun.”
“tentu saja sayang.”
Air yang tertahan di pelupuk mataku keluar membasahi pipiku. Kesedihan karena perpisahan dulu bertumpuk dengan kesedihan karena pertemuan kembali. Tak kuasa aku melepas pelukan ibu tua ini. Kakiku lemas melihat adegan beberapa meter di depanku tadi. Inikah alasan kebisuanmu selama ini. Inikah jawaban pesan tak berbalas itu. Inilah akhir dari cita dan mimpiku. Inilah akhir cerita yang kumulai beberapa tahun yang lalu. Pesan yang kutunggu itu ternyata tidak akan pernah ada. Yang ada hanyalah adegan beberapa detik tadi yang melepaskan rantai-rantai masa lalu. Aku terbebas dari masa lalu. Tetapi, aku juga tidak punya masa depan.
Kakimu melangkah mendekatiku. Seiring dengan itu kulepas pelukan dengan ibu tua yang tidak lain adalah ibumu. Kakimu berhenti,ujung bajumu ditarik gadis kecil itu. Lalu kualihkan mataku memandang wajah ibumu lekat-lekat.
“ibu…Sara akan pergi ke tempat jauh. Karena itu untuk terakhir kalinya Sara mampir kesini.”
Tangan besar ibumu menghapus air mata di pipiku. Beliau mencium keningku. Mengusap kepalaku. Belaian sayangnya yang tidak pernah kudapat di rumahku. Karena sejak perpisahan dengan orang tuaku untuk selamanya, aku hanya sendiri bersama Pamanku. Ditambah lagi perpisahan dengan keluargamu ini.
Aku yakin saat ini ibumu ingin berkata banyak namun mulutnya terkunci. Hanya bahasa tangan dan matanya yang mengharapkanku tetap tinggal. Namun, ini bukan rumah impianku lagi. Sudah ada perempuan lain yang memiliknya. Meskipun belum ada, aku pun tetap tidak bisa menempatinya. Jantung ini terlalu lemah untuk tetap berada di dunia yang penuh polusi ini. Jantungku ini tidak akan sanggup bertahan.
Isyarat mata dan senyum yang kulemparkan padamu sebelum kakiku melangkah pergi berarti agar kau tidak pernah melupaku. Dan kuberjanji tidak ada pesan lagi. Pesan untukmu telah habis. Dan kini mataku telah terbuka, pesan-pesan yang tak pernah sampai padamu hanya sabatas curahan hatiku. Jawaban pesan-pesan yang kukirim adalah suatu kenyataan aku memang harus pergi dari hidupmu. Karena meskipun aku ada di hadapmu tetap saja hanya kebisuan yang kau berikan. Hanya itu yang bisa kau berikan. Beberapa menit aku merasa kamu ingin berkata sesuatu tetapi tercekat di dalam tenggorokan sehingga hanya diam, engkau melepasku pergi. Dan taukah kamu aku pergi bukan hanya keluar kota mungkin ke tempat langit tertinggi bertemankan cahaya bintang yang tidak pernah padam. Yang selalu menghangatkan hatiku yang kedinginan. Melebarkan senyumku karena keindahannya.
Ibumu melepasku dengan tangis. Kuberjalan menjauh dan setelah beberapa langkah Kuberbalik melihat rumah sederhanamu kulihat dirimu memeluk ibumu. Seolah kamu sedang menghiburnya. Aku teruskan langkah sampai ujung jalan. Ketika aku berbalik untuk kedua kalinya berharap dapat melihatmu dan keluargamu terakhir kalinya. Tak ada yang tersisa kecuali jalan kosong yang hampa. Angin pun tak terasa.
Langit mendung,hari tidak terlalu panas. Matahari bersembunyi di balik awan gelap. Mungkin pertanda akan turun hujan. Namun, telah turun rinai air mata lebih dulu yang membasahi pipiku. Aku terus berjalan tanpa arah hingga kakiku lemas. Suara petir menggelegar. Rintik-rintik hujan mulai membasahi jalan aspal yang kuinjak. Mobil mercy tiba-tiba berhenti di depanku. Lalu keluar dari dalam mobil seorang laki-laki umur tiga puluhan. Dia pamanku.
“Sara..kemana aja kamu? Kondisimu lagi kurang baik. Bukankah kau tau.”
“Paman..Sara letih…letih…”
***
Masih terasa di wajahku seakan kena pijatan air beberapa detik. Mataku yang terlalu letih melihat dunia. Akhirnya pun menutup. Aku mengira aku telah sampai di taman bintang. Namun, aku salah. Aku masih bernafas. Mataku kubuka perlahan, kulihat suster mengganti infusku.
“mba sudah sadar?” Tanyanya.
“berapa lama aku tertidur.”
“tiga hari. Saya akan segera beritahu pak Andi, paman anda.”
Aku hanya mengangguk. Kulihat sekeliling dan ku tertuju di sebuah jendela. Ternyata aku memang berada di taman bintang. Saat kulihat di balik jendela kamar banyak bintang bersinar. Indah sekali…
Tidak kusangka kenyataan itu seakan mimpi. Mimpi yang begitu nyata. Aku berkata dalam hati,” aku terlalu menakutkan untuk dijadikan teman ataupun sahabat. Kata-kata yang muncul dari setiap urat nadi. Aliran darah yang tak pernah berhenti mengawasi. Melihatku yang tak pernah puas menuliskan bahasa hati dalam diary. Tak bisa dicegah kecuali darah ini membeku hingga nadi tak berdenyut lagi.”
“Sara akhirnya kamu sadar juga. Paman sangat cemas….”
“kapan aku pergi kesana Paman?” sambil kuacungkan telunjukku ke bintang-bintang yang bersinar di langit malam ini. Aku terus memandang bintang itu. Pamanku terdiam sejenak. Mungkin dia kaget mendengar pertanyaan ponakannya.
“apa Sara yakin akan kesana?” aku memandang wajah pamanku yang tidak muda lagi tetapi tidak mau menikah demi mengurusku. Aku merasa bersalah karenanya. Dia tidak memberiku jawaban malahan pertanyaan. Yang kujawab dengan anggukan. Lalu kupalingkan wajahku ke bintang-bintang yang terlihat paling indah di mataku.
“Bintang tak seindah yang kau kira. Bila kau dekati, dia akan membakarmu. Bila kau ingin pergi. Pergilah kepadaNya, Zat yang paling tinggi. Zat yang memiliki kasih dan sayang tiada yang menandingi. Dia tidak akan memberimu sakit. Hanya cinta yang akan kau dapat. Bila kau juga memberi cintamu untukNya. Allah swt adalah tujuan akhir yang dituju setiap muslim di dunia ini. Tiada yang lain yang lebih indah dari surgaNya dan pintu maafNya bagi siapa saja yang mau bertaubat.”
“Paman…mungkinkah Sara mencintai seseorang lebih dari cintaku padaNya. Hingga Dia marah ke Sara. Dan memberiku sakit ini…sakit….dada ini rasanya sakit. Paman…”
“Sayang…paman selalu menyayangimu. Sakit ini akan hilang. Percayalah…”
Malam ini aku mengeluarkan air mataku hingga kering Hingga mataku lelah dan akhirnya aku tersenyum sebagai ucapan selamat malam terakhir untuk pamanku dan kata-kata yang ingin kuucap beberapa tahun terakhir ini,” Paman sudah tidak muda lagi, cepatlah menikah…” kulihat anggukannya. Aku merasa lega. Sebelum aku tertidur untuk selamanya kulihat senyum pamanku yang tak pernah kulihat sejak kepergian kedua orang tuaku.
Di balik cahaya bintang dan cahaya yang pernah kulihat di rumah sederhana dalam kenanganku kini kutemukan cahaya yang lebih benderang. CahayaNya yang kekal dan abadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- AnDesGa
- Banyak hal yang saya dapat dari ngeblog ini salah satunya adalah selalu memburu artikel - artikel yang saya nilai cukup menarik dan layak untuk berbagi. Berbagi lewat facebook silakan add saya dg nama Jamka Selecta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar anda :